Menjajah selama 3,5
abad, Belanda meninggalkan cukup banyak warisan hukum untuk Indonesia. Sejarah
hukum kepailitan di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari warisan Belanda.
Awalnya, aturan seputar kepailitian termaktub dalam Wetboek Van Koophandel atau
biasa disebut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan Reglement
op de Rechtsvoordering (RV).
Kepailitan
diatur secara khusus dalam KUHD, Bab III dengan titel Van de
Voorzieningen in Geval van Onvormogen van Kooplieden atau
peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Sementara, RV mengaturnya dalam Buku
Ketiga Bab Ketujuh dengan titel Van den Staat Von Kenneljk
Onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.
Perbedaan
antara KUHD dan RV terletak pada peruntukkannya. KUHD memuat pengaturan
kepailitan untuk pedagang, sedangkan RV untuk bukan pedagang. Pada praktiknya,
implementasi KUHD dan RV memiliki kelemahan seperti terlalu banyak formalitas,
biaya tinggi, minimnya peran kreditur dan waktu yang berlarut-larut.
Aturan
seputar kepailitan dalam KUHD dan RV kemudian diganti dengan Failistment
Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276
Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Seperti halnya Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), masa keberlakukan Failistment Verordenning juga
berlangsung cukup lama, sejak tahun 1905 hingga 1998.
Keberlakuan Failistment
Verordenning kemudian terhenti ‘berkat’ badai krisis moneter
(krismon) yang melanda Indonesia. Krisis moneter yang begitu dahsyat tidak
hanya menghancurkan stabilitas moneter nasional, tetapi juga mengakibatkan
sejumlah perusahaan nasional maupun multinasional di Indonesia pailit.
Menyikapi
kondisi ini, Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu, era Presiden (alm)
Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor
1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan. PERPU Nomor 1
Tahun 1998 kemudian resmi ditetapkan sebagai undang-undang oleh UU Nomor 4
Tahun 1998.
Secara
substansi PERPU Nomor 1 Tahun 1998 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan UU
Kepailitan warisan Belanda, Failistment Verordenning. Namun,
beberapa norma baru dalam PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang secara signifikan
mengubah konsep pengaturan seputar kepailitan antara lain batas waktu
penyelesaian perkara kepailitan, kurator swasta, dan tentunya pembentukan
pengadilan niaga.
Pembentukan
pengadilan niaga merupakan tonggak dimulainya era baru sistem penyelesaian
perkara kepailitan di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan dalam PERPU Nomor 1
Tahun 2004, pembentukan pengadilan niaga dimaksudkan untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan sistem penyelesaian perkara kepailitan yang berlaku
sebelumnya khususnya yang berkaitan dengan waktu dan sistem pembuktian.
Berselang
enam tahun, regulasi di bidang kepailitan kembali mengalami dinamika dengan
terbitnya UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU). Dibandingkan PERPU Nomor 1 Tahun 1998, UU Kepailitan
dan PKPU memiliki cakupan yang lebih luas sebagai respon atas perkembangan
hukum kepailitan di Tanah Air. Selain itu, UU Kepailitan dan PKPU juga
memberikan batasan yang tegas terkait pengertian “utang” dan “jatuh waktu”.
UU
Kepailitan dan PKPU dibuat untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan
sebagai berikut: Pertama, perebutan
harta debitur jika dalam waktu yang bersamaan terdapat beberapa kreditur yang
menagih piutangnya kepada debitur. Kedua, kreditur selaku pemegang hak jaminan
kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya. Ketiga, potensi
kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur.
Setelah
melalui proses sejarah yang cukup panjang, hukum kepailitan Indonesia akan
kembali mengalami perubahan. Walaupun belum masuk program legislasi nasional di
DPR, perubahan terhadap UU Kepailitan dan PKPU mulai diwacanakan oleh beberapa
kalangan, khususnya para praktisi di bidang hukum kepailitan seperti kurator.