Rabu, 02 September 2020

Sejarah Hukum Kepailitan Indonesia: Warisan Kolonial dan Krismon

 


Menjajah selama 3,5 abad, Belanda meninggalkan cukup banyak warisan hukum untuk Indonesia. Sejarah hukum kepailitan di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari warisan Belanda. Awalnya, aturan seputar kepailitian termaktub dalam Wetboek Van Koophandel atau biasa disebut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan Reglement op de Rechtsvoordering (RV).


Kepailitan diatur secara khusus dalam KUHD, Bab III dengan titel Van de Voorzieningen in Geval van Onvormogen van Kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Sementara, RV mengaturnya dalam Buku Ketiga Bab Ketujuh dengan titel Van den Staat Von Kenneljk Onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.


Perbedaan antara KUHD dan RV terletak pada peruntukkannya. KUHD memuat pengaturan kepailitan untuk pedagang, sedangkan RV untuk bukan pedagang. Pada praktiknya, implementasi KUHD dan RV memiliki kelemahan seperti terlalu banyak formalitas, biaya tinggi, minimnya peran kreditur dan waktu yang berlarut-larut.


Aturan seputar kepailitan dalam KUHD dan RV kemudian diganti dengan Failistment Verordenning yang berlaku berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Seperti halnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), masa keberlakukan Failistment Verordenning juga berlangsung cukup lama, sejak tahun 1905 hingga 1998.


Keberlakuan Failistment Verordenning kemudian terhenti ‘berkat’ badai krisis moneter (krismon) yang melanda Indonesia. Krisis moneter yang begitu dahsyat tidak hanya menghancurkan stabilitas moneter nasional, tetapi juga mengakibatkan sejumlah perusahaan nasional maupun multinasional di Indonesia pailit.


Menyikapi kondisi ini, Pemerintah Indonesia yang berkuasa saat itu, era Presiden (alm) Soeharto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Kepailitan. PERPU Nomor 1 Tahun 1998 kemudian resmi ditetapkan sebagai undang-undang oleh UU Nomor 4 Tahun 1998.


Secara substansi PERPU Nomor 1 Tahun 1998 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan UU Kepailitan warisan Belanda, Failistment Verordenning. Namun, beberapa norma baru dalam PERPU Nomor 1 Tahun 1998 yang secara signifikan mengubah konsep pengaturan seputar kepailitan antara lain batas waktu penyelesaian perkara kepailitan, kurator swasta, dan tentunya pembentukan pengadilan niaga.


Pembentukan pengadilan niaga merupakan tonggak dimulainya era baru sistem penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia. Sebagaimana ditegaskan dalam PERPU Nomor 1 Tahun 2004, pembentukan pengadilan niaga dimaksudkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem penyelesaian perkara kepailitan yang berlaku sebelumnya khususnya yang berkaitan dengan waktu dan sistem pembuktian.


Berselang enam tahun, regulasi di bidang kepailitan kembali mengalami dinamika dengan terbitnya UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Dibandingkan PERPU Nomor 1 Tahun 1998, UU Kepailitan dan PKPU memiliki cakupan yang lebih luas sebagai respon atas perkembangan hukum kepailitan di Tanah Air. Selain itu, UU Kepailitan dan PKPU juga memberikan batasan yang tegas terkait pengertian “utang” dan “jatuh waktu”.


UU Kepailitan dan PKPU dibuat untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan sebagai berikut: Pertama, perebutan harta debitur jika dalam waktu yang bersamaan terdapat beberapa kreditur yang menagih piutangnya kepada debitur. Kedua, kreditur selaku pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya. Ketiga, potensi kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditur atau debitur.


Setelah melalui proses sejarah yang cukup panjang, hukum kepailitan Indonesia akan kembali mengalami perubahan. Walaupun belum masuk program legislasi nasional di DPR, perubahan terhadap UU Kepailitan dan PKPU mulai diwacanakan oleh beberapa kalangan, khususnya para praktisi di bidang hukum kepailitan seperti kurator.

 

Sumber : abpadvocates.com